Oleh: Kristin Samah

JAKARTA (5/5/2021)—Sebanyak 150 babi,
uang tunai Rp 180 juta, Kulit Bia Indo Bumboro Kuntubaga, dan Kulit Bia Isau Baubaga, sudah disiapkan. Kalau seekor babi berharga Rp 30 juta, kemudian Kulit Bia masing-masing Rp 400 juta dan Rp 300 juta, maka uang yang harus dikeluarkan tak kurang dari Rp 5 miliar.

Nilai itu baru untuk membayar denda adat, atau utang nyawa korban. Jumlah yang tidak murah untuk membayar perang suku antara marga Sani dan marga Tigau. Perang yang terjadi tahun 1960-1976, menewaskan dua orang, salah satunya Yakob Tigau.

Pesta adat perdamaian turut dihadiri Kapolsek Sugapa Ipda Engel Mayor, Kasat Sabhara Iptu Noak Mori, dan Kasi Propam Bripka Rumbewas. Denda adat diberikan Natan Sani kepada perwakilan keluarga Tigau, yaitu Samuel Tigau, Nobertus Tigau dan Ubertus Tigau.

Kepala Biro Operasi Polda Papua, Kombes Jeremias Rontini ketika dikonfirmasi tentang upacara itu mengatakan, meskipun perang sudah berlangsung 45 tahun yang lalu, masyarakat tidak melupakan denda yang harus dibayar. Mereka membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan uang denda, katanya.

Ia mengungkapkan, suku-suku di Pegunungan Tengah pada umumnya memiliki komitmen untuk menyelesaikan sengketa dengan membayar denda babi, uang, dan kulit bia. Jumlah denda disepakati kedua belah pihak yang berperang.

Kapolres Intan Jaya, AKBP Sandi Sultan mengungkapkan, meskipun sejak 1976, mereka bisa hidup rukun berdampingan, tetapi kewajiban denda tidak bisa diabaikan. Mereka berkeyakinan, abai membayar denda akan berdampak pada keselamatan keluarga besar.

Edukasi Publik
Perang suku menjadi concern Kapolda Papua, Irjen Pol. Mathius D Fakhiri. “Jangan memberi ruang sedikit pun untuk membuka lagi hal-hal yang sudah tidak boleh,” demikian penegasannya, sesaat setelah dilantik. Penegakan hukum yang dilakukan Polri, menurut Fakhiri, terkandung edukasi pada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri.

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pesta adat perdamaian, disinggung Jared Diamond dalam buku The World until Yesterday. Bagi orang-orang Papua, unsur kunci dalam memulihkan hubungan yang rusak adalah mengakui dan menghormati perasaan satu sama lain, sehingga kedua pihak dapat membuang jauh-jauh amarah.

Pembayaran denda menjadi simbol memantapkan kembali hubungan, setelah satu pihak minta maaf dan pihak lainnya menerima. Penyelesaian secara tradisional, di luar penegakan hukum yang bisa dilakukan negara, didasari pemahaman, sepanjang hayat, mereka harus mempertahankan jejaring hubungan sosial yang sudah diperoleh sejak lahir.

Itu sebabnya, denda bukan hanya menjadi tanggungan pihak bertikai secara langsung tetapi juga menyebar ke pihak-pihak lain yang mungkin sulit dipahami masyarakat yang menyandarkan rasa keadilan pada aparat penegak hukum. (*)