Sehat Mental Lewat Kader “Lillahi Ta’ala”

Oleh: Kristin Samah
Jakarta (27/5/2023)—Tiba-tiba saja yang namanya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), menyeruak meminta perhatian, ketika Ketua Wanita Indonesia Keren (WIK), Maria Ekowati, mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental sebagai bagian dari upaya menyiapkan generasi emas 2045. Adalah Ray Basrowi, Ketua Health Collaborator Center (HCC) yang gencar memaparkan pentingnya peran Posyandu sebagai salah satu infrastruktur kesehatan primer.


Posyandu memang bukan barang baru, lembaga itu didirikan tahun 1970. Kader-kadernya mulai dengan mendatangi rumah yang satu ke rumah lainnya, membawa timbangan, mengukur berat badan, memberikan penyuluhan. Lalu pelayanan yang diberikan pun berkembang, bukan hanya menimbang berat badan balita tetapi juga memantau kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan penanggulangan penyakit menular lainnya.

Dalam sebuah pertemuan WIK dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, diakui Posyandu merupakan infrastruktur kesehatan primer yang sangat brilliant. Bayangkan, ketika belum dimekarkan menjadi 38 provinsi, untuk melayani 80.000 desa di 514 kabupaten/kota di 34 provinsi, hanya terdapat 10.000 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Sedangkan jumlah Posyandu sudah mencapai 300.000, menyebar di seluruh pelosok daerah.


Penelitian yang dilakukan Ray dalam rangka Hari Posyandu 2023, cukup mengundang decak kagum. Setelah sekian lama mengabdi, Posyandu masih tetap berada di hati. Dari 10 ibu, sembilan di antaranya percaya, penyuluhan Posyandu sebagai sumber informasi utama kesehatan ibu. Wow… bukan hanya itu, dari 10 ibu, tujuh di antaranya yakin, Posyandu bisa membantu dan turut memastikan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi.

Itu sebabnya, WIK menginisiasi edukasi kesehatan mental pada ibu hamil dan baru melahirkan, melalui Posyandu karena banyak riset menunjukkan, kesehatan mental ibu akan mempengaruhi anak-anaknya dalam jangka panjang. Langkah edukasi sangat penting apalagi bila melihat kecenderungan mental disorder yang terjadi di masyarakat baik dalam bentuk flexing, bullying, atau bahkan keinginan bunuh diri di kalangan remaja.

Peran Posyandu tentu saja tidak terlepas dari militansi kader-kadernya. Siapakah sebenarnya para kader Posyandu. Mereka bukan aparatur sipil negara, mereka juga bukan pegawai pemerintah daerah. Kader Posyandu adalah relawan, tidak digaji bulanan, kesejahteraannya ditentukan kebaikan hati pemerintah daerah. Ada yang mendapat uang transport Rp 10.000,- per kedatangan, ada yang mendapat insentif setiap bulan, ada juga yang benar-benar bekerja dengan keikhlasan, tanpa mengharap bayaran.

Maka tidak berlebihan bila Maria Ekowati pun berkeinginan memperjuangkan kesejahteraan kader Posyandu. Mereka harus mendapat insentif cukup, bahkan harus masuk dalam UU Kesehatan. Kader Posyandu yang sering disebut sebagai kader “Lillahi Ta’ala” karena keikhlasan dan kesukarelaannya, sudah sepantasnya ditingkatkan pula kesejahterannya. (***)