Oleh: Kristin Samah

Ibaratnya baru saja mau mengakhiri keletihan mengikuti drama seri pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, mendadak publik dikejutkan dengan peristiwa yang tak kurang sadisnya. Penganiayaan remaja yang dilakukan seorang emerging adulthood, usia 20 tahun. Sadis… bukan hanya tindakan memukul, menendang, menginjak, dan memaki bertubi-tubi tetapi juga ketika mengakhiri dengan selebrasi. Seolah sebuah pencapaian.
Berita yang mengikuti lebih banyak tentang kekayaan orang tuanya. Itu pun baik. Namun apakah Mario Dandy adalah aktor tunggal dalam tindak kekerasan? Kebetulan kekayaan fantastis orang tuanya membuka pandora tentang dugaan penyalahgunaan wewenang, mungkin saja praktik korupsi dan kolusi.

Jangan hanya terpaku pada orang-orang yang berada dalam spotlight. Bukankah kekerasan, penganiayaan, tindakan brutal, dan berbagai kesewenang-wenangan terjadi hampir di setiap detik kehidupan kita?

Kita tidak sedang baik-baik saja! Bukan hanya Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Teddy Minahasa, Mario Dandy, Wowon serial killer, atau Rudolf Tobing yang senyum-senyum setelah memutilasi temannya. Tapi kita semua. Dua tahun tidak bisa kemana-mana akibat pandemi, tidak bisa dijadikan alasan, karena kesehatan mental bisa terjadi oleh karena banyak sebab.

Mari kita lihat jauh-jauh hari sebelum pandemi. Bintang Bollywood, Deepika Padukone, dalam sebuah wawancara mengatakan, ketika ia bangun di pagi hari, tiba-tiba saja ia merasakan hidupnya kosong, tanpa arah, kemudian merasa sedih tanpa sebab. Tak lama kemudian ia pingsan, dunia menjadi serba gelap.

Di tahun 2014, bintangnya sedang bersinar. Kehidupannya dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Kekasih yang memberi perhatian, keluarga yang selalu mendorong apa pun yang akan dilakukan, dan jangan lupakan penggemar yang akan mengejarnya di mana pun ia berada. Namun gemerlap kehidupan yang tampaknya tidak memberi celah sedikit pun untuk bersedih, mendadak serba hitam.

Pemeran film komedi romantic Cocktail (2012) itu disarankan untuk mengunjungi psikiater ketika tak ditemukan penyebab medis yang membuatnya sakit berkepanjangan. Ia dinyatakan, mengalami depresi, kehilangan motivasi untuk semua hal, bahkan ingin tidur sepanjang hari, berharap tidak bertemu dengan dunia nyata.

Setelah beberapa bulan menjalani terapi, ia bangkit, dan menemukan kesadaran perlunya menjaga kesehatan mental. Tidak selalu ada gejala yang mengawali depresi. Bisa datang begitu saja, karena hati dan pikiran manusia seperti sebuah botol yang terus diisi. Kita tidak akan tahu kapan penuh, bila tidak rajin memeriksa, mengeluarkan sebagian isinya, supaya bisa diisi lagi dan lagi.

Sesudah menyadari apa yang terjadi dengan dirinya, Deepika mendirikan The Live, Love, and Laugh Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang mengadvokasi kesehatan mental.

Tidak semua orang mau menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Bahkan lebih sering, istilah-istilah psikologi seperti stress, trauma, bahkan depresi, dijadikan kelakar, dalih untuk tidak melakukan sesuatu, atau bahkan untuk menunjukkan betapa keras seseorang telah bekerja, dan lebih naif lagi, guna mempertontonkan kehebatannya.

Sekarang, healing menjadi kata favorit. Piknik disebut healing, makan sambil tertawa-tawa dengan teman pun disebut demikian. Bahkan sekadar meneguk kopi di cafe, istilah yang digunakan tetap healing.

Tidak perlu meluruskan istilah healing dari makna yang secara psikologis berarti penyembuhan atau pemulihan. Justru narasi yang kurang kontekstual itu bisa dijadikan titik masuk untuk membuka cakrawala tentang perlunya memperhatikan mental health. Betapa persoalan kesehatan mental belum dilirik sebagai satu hal yang penting dalam kehidupan kita saat ini? Bukankah prestasi akademik lebih dihargai dibanding kecerdasan emosional?
Banyak orang menganggap tabu membicarakan stress, trauma, atau depresi. Bahkan dalam kadar yang lebih rendah, membicarakan masalah hidup sehari-hari pun dianggap aib. Apalagi bila sudah menyentuh hal-hal yang menyangkut status sosial-ekonomi. Orang cenderung menutup rapat-rapat apa yang dipikirkan dan dirasakan, bila sudah menyangkut hal-hal yang sensitive.

Menyimpan rahasia, menyimpan pikiran dan perasaan yang dianggap memalukan, dapat menyebabkan timbulnya masalah psikologis yang serius. Daniel M. Wegner dan Julie D. Lane dalam buku Emotion, Disclosure, & Health mengungkapkan, orang tidak mau menceritakan apa yang dipikirkan dan dirasakan, terutama karena konsekuensi yang mungkin terjadi bila sebuah peristiwa diketahui orang. (e-g., Bok, 1982; Burnam, 1991; Hillix, Harari, & Mohr, 1979; Larson & Chastain, 1990; Simmel, 1950; Stiles, 1987; Wegner & Erber, 1993).

Setiap orang memiliki kecenderungan untuk tidak menceritakan sebuah, atau banyak peristiwa, guna menghindari pengucilan, pembalasan, cemoohan, atau bahkan yang lebih buruk lagi, dianggap gila.

Tapi, tidak menceritakan sebuah peristiwa yang mempengaruhi sikap dan perilaku di masa kini dan masa depan, berkonsekuensi pada masalah psikologis yang lebih panjang dan melelahkan. Bisa jadi seseorang menganggap dirinya berhasil merahasiakan pikirannya tentang peristiwa di masa lalu, namun bila tidak ditangani dengan baik, bisa muncul kembali, berulang-ulang, sehingga sangat mengganggu. Pada satu ketika, bisa menimbulkan kekacauan pikiran.

Banyak cara menuju pada kesehatan mental, tapi tetap yang pertama harus dilakukan adalah mengakui. Maka “Obrolin Saja” yang menjadi tagline Nadir Podcast memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Obrolin saja… kalau tidak sanggup dengan konsekuensinya, ungkapkan pada kertas putih, lalu musnahkan! Let it go…