Pelajaran Sate Kere dari Bu Noto

Oleh: Kristin Samah

Yogyakarta (4/6/2023)—Pulang ke Yogyakarta, aku justru teringat saat diajak makan sate kere di Solo. Sayangnya, meskipun long week end di awal Juni cukup panjang, tak cukup waktu untuk melintas sejauh 64 kilometer, menuju kota budaya yang sedang menjadi center politik Indonesia ini. Jadilah ingatan tentang sate kere aku biarkan menari-nari.

Beda kota beda cara dan citarasa. Di Solo, apa yang disebut dengan sate kere adalah sate yang mengombinasikan daging sapi, jerohan, dan tempe gembus. Tempe gembus sendiri berbahan baku ampas tahu. Teksturnya empuk, menyerap bumbu. Di Yogya ada juga sate kere, tapi bahan bakunya lemak daging sapi. Saat tusukan lemak yang sudah dicampur bumbu kecap itu naik ke panggangan, asapnya mengepul, mengirim aroma manis gurih yang sangat sedap.

Kere yang menjadi predikat untuk sate, memang benar-benar bermakna miskin. Baik di Solo maupun di Yogya, menu sate kere memang bermula dari kecerdasan rakyat menyiasati kemiskinan. Biar miskin tetap makan enak, jadilah daging ayam, kambing, atau sapi yang biasa menjadi bahan baku pembuat sate, diganti dengan bahan lain yang mirip, termasuk di antaranya tempe gembus.

Kalau aku terbayang-bayang sate kere Solo, sebenarnya bukan karena bumbu kacang dan kelembutan tempe gembus yang menggugah selera tetapi siapa yang memperkenalkan makanan itu. Beliau adalah Ibu Sujiatmi Notomihardjo (alm), Ibunda Presiden Joko Widodo.


Saat mengajak kami mencoba sate kere, Pak Jokowi baru satu tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, 2013. Popularitas putra sulungnya berimbas pada Bu Noto—demikian kami memanggil beliau. Berkali-kali Bu Noto menyatakan kurang sreg diperlakukan istimewa karena jabatan puteranya. Beliau ingin tetap menjadi Bu Noto, seperti sebelumnya, tak perlu duduk di kursi VVIP saat datang ke undangan, atau berdiri di deretan terdepan bila saatnya senam pagi.

Keinginan itu pula yang membuat Bu Noto meminta pengemudi, membeli sate kere kegemarannya, sementara kami tetap duduk di dalam mobil. Alasannya, biar gak diistimewakan. Meskipun ngiras, atau makan di tempat, jauh lebih nikmat dibanding di dalam mobil, tapi Bu Noto menyadari, kehadirannya akan membuat penjual dan pembeli merasa serba salah. Kalau mau didulukan, pelanggan yang lain belum tentu senang. Kalau tidak diutamakan, si penjual pasti merasa kikuk.

Teladan kesantunan yang selalu membekas di hati kami saat itu. Kalau tujuannya memang benar-benar mau menikmati kuliner, tidak perlu ikut duduk mengantri sehingga membuat keriuhan. Apalagi minta ini-itu yang tak sesuai kebiasaan. Cukup membeli, menikmati di rumah, atau di dalam mobil, dan biarkan masyarakat umum berwisata kuliner tanpa perlu kesal karena kehadiran VVIP.

Beda halnya kalau tujuannya untuk endorse makanan supaya lebih dikenal publik, mendongkrak penjualan pengusaha kecil. Tapi mestinya itu dilakukan di warung atau restaurant yang belum terkenal, yang baru mulai, yang membutuhkan promosi, dan dukungan pesohor.

Tapi tahun 2023 memang tahun politik. Apa pun bisa terjadi. Dan ketika sistem politik masih mengandalkan popularitas, sebagai rakyat, siap-siap saja berhadapan dengan keriuhan. Jangan kaget dengan berbagai macam pertunjukan yang mungkin menguji kesabaran. Kalau enggan berdesakan, untuk sementara makan nasi putih dan telur dadar saja. Kalau memang pengen banget, lebih baik kita belajar dari Bu Noto, beli saja, dimakan di rumah atau di mobil.