Oleh: Kristin Samah

JAKARTA (10/6/2023)—Dua peristiwa yang membuat saya tertegun ketika bertanya tentang sapaan. Pertama pada Bupati Paniai, Meki Nawipa, kedua pada Psikolog Personal Growth, Ratih Ibrahim.

Di Papua, panggilan ‘Kakak’ sangat biasa. Mirip ‘mas’ di Jawa, atau ‘berabang’ di rata-rata Sumatera. Bupati dipanggil ‘kakak’, Gubernur dipanggil ‘kakak’, bahkan Kapolda pun dipanggil ‘kakak’. Mengapa begitu? Meki Nawipa yang saya tanya justru melempar pandangan heran. Beberapa detik kemudian menjawab retoris. “Bukankah ‘kakak’ itu dari bahasa Indonesia?”

Wah betul juga ya? Bahasa Indonesia ketika diamalkan dengan baik dan benar kok justru mengundang pertanyaan. Saat itu saya baru ingat, kekayaan Papua yang terdiri dari ratusan suku dengan bahasa masing-masing. Masuk akal bila ‘kakak’ menjadi bahasa universal untuk menyapa, kemudian ‘ditiru’ para pendatang.

Peristiwa kedua ketika Arman Wakum, dosen muda asal Biak, bertanya pada saya dan Ratih Ibrahim saat peluncuran buku Bicara pada Kertas Putih. Saya katakan, panggil saja ‘Kak Kristin’—meniru kebiasaan orang Papua—atau Kristin saja…

Ratih Ibrahim justru minta dipanggil ‘Ibu’ atau boleh juga ‘Tante’. Ia keberatan dipanggil ‘kakak’, karena kesannya seperti pedofil. Saya sempat kaget. Kenapa asosiasinya ke arah seksualitas? Barangkali Ratih punya pengalaman yang menjadi rujukan konsep sapaan ‘kakak’, karena ia banyak mendampingi anak-anak muda.

Sapaan tidak sesederhana tampaknya. Sahabat saya tidak mau dipanggil ‘jenderal’ padahal di pundaknya jelas-jelas ada tanda pangkat bintang. Saya menganggap itu bagian dari kedekatan relasi. Di organisasinya, tentu ia tidak akan menolak. Bahkan, bila anak buahnya tidak memanggil ‘jenderal’, bisa berujung masalah.

 

Seorang dokter yang juga dosen, tidak mau dipanggil ‘Dok’ saat di luar kampus atau ketika sedang tidak berpraktik. Maunya dipanggil ‘mas’ atau bahkan panggil nama saja. Padahal, sahabat saya yang lain, selalu membahasakan suaminya sebagai ‘pak dokter’, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Jadi, ketika duduk cekakak-cekikik di warung kopi pun, saya ikut-ikutan memanggilnya “Pak Dokter”.

Ada lagi kawan baik yang mencantumkan ‘DR’ kependekan dari ‘doktor’ di kontak telepon. Kalau di kontak telepon saja pakai gelar akademis, patut diduga di dunia nyata, ia ingin dipanggil mas atau pak doktor. Mirip dengan itu, sahabat yang bergelar profesor pernah mengungkapkan kekesalannya karena media hanya menulis nama, tidak mencantumkan gelar akademis. “Mereka tidak menghargai jerih payah menjadi profesor-doktor,” ujarnya.

Status dan Fungsi

Di balik bentuk sapaan yang dipilih, terkandung status sosial, fungsi, juga dimensi superioritas, inferioritas, atau kesetaraan. Status bisa bermakna status sosial atau pun usia. Dalam hal ini, barangkali Ratih Ibrahim memilih dipanggil ‘ibu’ atau ‘tante’ karena audience dalam diskusi itu adalah anak-anak muda. Usia mereka lebih muda dibanding anak kandungnya sehingga lebih pantas memanggil dengan cara seperti itu.

Namun ketika seseorang meminta atau menyiratkan keinginan dipanggil dengan gelar, pangkat, atau jabatan, maka saat itulah fungsi mengambil peran. Pemilihan sapaan akan menunjukkan tingkat dominasi atau pola relasi. Pertemanan yang dalam perkembangannya mengubah sapaan karena pangkat, jabatan, atau gelar, di situ terkandung superioritas, inferioritas, atau kesetaraan.

Bisa jadi seseorang yang memiliki gelar atau pangkat tidak mau dipanggil berdasarkan fungsi dan perannya tetapi karena ada relasi superior-inferior, lawan bicara tidak sanggup memanggil hanya dengan sapaan kekerabatan dan nama. Aristides Katoppo (alm) termasuk yang minta dipanggil nama. “Tides saja…” Kami yang pernah menjadi anak buahnya lebih sering memanggilnya ‘Bokap’.

Dalam hal relasi kesetaraan atau keakraban, status dan fungsi dianggap sebagai jurang pemisah. Bentuk sapaannya menjadi sangat beragam, tidak memiliki aturan, sesuai dengan kesepakatan dan kenyamanan para pihak. Yang paling sering muncul antara lain ‘masbro’ dan ‘mbaksis’. Tetapi ada juga panggilan ‘bujend’, ‘masjend’, ‘pakdok’, ‘buketu’, ‘busek’, dan seterusnya. Maka sapaan atau panggilan seperti itu lebih bermakna keakraban. Hanya diketahui para pihak yang dipanggil dan memanggil. Gen-Z menyebutnya Squad goals, atau dalam istilah Megawati Soekarnoputri sebagai bonding. Ya kan Buketu dan Pakdok? (***)