Apakah Hidupmu Bahagia?

Gugatan Kanti Janis dalam Novel “Cita-cita Titik Dua Petani”

Oleh: Anang Rianto Wibowo

 

Yogyakarta (08/02/2023)—Tahukah dari mana makanan yang hadir di depan kita? Makanan itu tidak instan. Bahkan air minum dalam galon pun memiliki mata rantai. Dan ternyata, apa yang kita makan dan minum itu disediakan oleh petani. Maka petani harus diutamakan.

Refleksi itu terungkap dalam novel Cita-cita Titik Dua Petani, karya Kanti Janis. Petani harus diutamakan, karena petani yang memberi makan bangsa. Memberi makan dan minum, tetapi hidup petani di Indonesia masih tertekan. Kanti merasa, ada yang tidak benar. Kalau penyedia kebutuhan dasar, makanan dan minum, tidak diperhatikan, bagaimana manusia bisa hidup tanpa makanan dan minuman.

Pernyataan itu disampaikan Kanti Janis ketika bedah buku DIMANA, TANGGAL, DAN TEMPATNYA.

Pertanian bukan hanya soal beras karena bidang itu sangat luas. Termasuk yang menghasilkan sandang, karena pakaian berasal dari kapas, ujar Kanti. Ketika melihat gedung bertingkat di Jakarta, Kanti bertanya, semen dari mana? Marmernya dari mana? Jadi, kota itu bisa berdiri karena disanggah desa. Keresahan muncul dalam benak Kanti, ketika menyadari, yang menyanggah hidup orang kota, tidak sejahtera.

Masalah yang sangat serius, dalam besutan Kanti menjadi ringan, dan dapat dibaca untuk segala usia. Tokoh dalam novel itu adalah anak-anak remaja yang akan tumbuh menjadi dewasa. Dalam novelnya, semuanya bersambung mulai dari pendidikan, kemudian kedaulatan pangan, dan kelestarian alam.

“Petani adalah seorang yang menjaga hidup kita, akan tetapi tidak diperhatikan secara layak,” katanya. Ketika menyebut nama petani, maka yang muncul adalah kemiskinan. Dalam buku ini, Kanti menyampaikan pesan bahwa keterbelakangan petani harus diperhatikan sehingga mampu meningkatkan taraf hidup petani.

Dalam buku ini, banyak perasaan yang tercampur karena persoalan yang diangkat, bisa ditemukan riil di sekitar kita. Masalah pendidikan, bagaimana kalau ada anak baru dirundung oleh siswa lain. Kanti juga menyoal pendidikan di Indonesia identik dengan nilai yang bagus. Orang yang dianggap pintar, akan memperoleh nilai bagus dan tidak melihat bagaimana prosesnya.

Ada pemikiran dalam benak guru bahwa petani bukanlah cita-cita, bahkan pekerjaan yang harus ditinggalkan. Anak yang pintar haruslah pandai matematika, IPA, dan lain-lain, bukan hal-hal yang berkaitan dengan hobi. Ia juga mengangkat doktrin bahwa “kesuksesan itu dilihat dari apa yang dimiliki”.

Jarang ada orang bertanya apakah kamu bahagia? Ketika bertemu, pertanyaan yang sering muncul, sudah sukses? Bekerja di mana? Tidak ada yang bertanya, apakah hidupmu bahagia?

Poin penting dalam cita-cita, pendidikan kita mengajarkan guru menerima kurikulum seperti ini. Kemudian murid harus menerima. Kita tidak pernah diajar memfungsikan otak untuk apa. Harus mulai membiasakan dengan pertanyaan sederhana pada anak, sukanya apa? Kemudian silakan kuliah di jurusan yang kamu suka. Karena apa yang disukai, akan membukakan jalan kehidupan sendiri.

Caption Foto: Kanti Janis saat launching Novel di Petik Merah Cafe & Roastery