Oleh: Kristin Samah
Jakarta (13/06/2023)—Lama tidak mengikuti kegiatan budaya, muncul-muncul dengan atribusi Wanita Indonesia Keren (WIK). Begini ceritanya. Perpustakaan Bung Karno, Blitar mencantumkan atribusi Komunitas Wanita Indonesia Keren karena tahun lalu kolaborasi dua pihak itu menghasilkan kegiatan yang cukup mengguncang anak muda di Blitar. Pelatihan menulis, workshop storytelling, pembacaan puisi, fashion show, dan sebagainya.
WIK sebenarnya bukan komunitas budaya. KEREN sebagai nama komunitas, kependekan dari Kreatif, Energik, Responsif, Empati, dan Nyata. Dalam rangka mencapai visi itulah maka WIK membawa misi mengembangkan kepribadian wanita, meningkatkan keterampilan dalam rangka kesejahteraan keluarga dan masyarakat, menumbuhkan dan meningkatkan jiwa kewirausahaan, spiritualitas dan kesadaran berbangsa dan bernegara. Budaya, apalagi mencintai wastra nusantara, menjadi bagian dari misi besar yang ingin dicapai WIK.
Nah, di luar kegiatan budaya, WIK sedang menggagas program mental health. Soal kesehatan mental pun, sudah menjadi concern saya sejak bulan-bulan awal Pandemi Covid-19. Ketika itu dalam wadah Yayasan Cerita Ibu Nusantara, diselenggarakan program Menulis untuk Kesehatan Mental hingga lima batch. Program itu dikembangkan menjadi Writing for Happiness untuk memotivasi peserta meraih kebahagiaan melalui proses menulis.
Writing for Happiness sendiri sebenarnya merupakan program self healing, mulai dari self detection, self diagnosis, dan self recovery. Dalam proses itulah, Ketua WIK, psikolog Maria Ekowati selalu hadir menjadi pengampu. Kadang-kadang peserta memperoleh konseling gratis. Ada juga yang berlanjut ke konseling secara privat.
Banyaknya flexing, bullying, sadisme, kekerasan, bahkan bunuh diri di kalangan remaja, membuat kami memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda untuk bisa mencapai Indonesia Emas 2045. Ketika kami berkeliling ke sejumlah daerah untuk membantu penyuluhan penanganan stunting dengan memanfaatkan bahan pangan dari pekarangan, saat itu terbersit pemikiran. Mengapa tidak disinergikan antara penanganan gizi buruk dengan kesehatan mental?
Peran Dr. dr. Ray W. Basrowi menjadi squad baru karena ia sudah menggeluti persoalan Posyandu yang menjadi ujung tombak penanganan stunting. Maka mulailah kami sowan ke Kepala BKKBN, kemudian ke Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Wakil Menteri Dalam Negeri, Komisi IX DPR, dan Deputy II Kepala Staf Presiden.
Pada setiap pejabat yang kami jumpai itu, semua menyatakan dukungan perlunya edukasi kesehatan mental sejak dini, dimulai dari 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kehidupan dimulai sejak terjadi pembuahan hingga bayi berusia dua tahun.
Dan tahukah Anda? Pandora apa yang pelan-pelan terkuak? Kesehatan mental pada ibu dan anak di 1000 HPK, sangat menentukan munculnya mental disorder di kemudian hari. Dari ibu yang tidak sehat secara mental, akan tumbuh anak-anak yang kesehatan mentalnya akan turut terganggu. Itu hasil penelitian loh… bukan karang-karangan.
Maka dimulailah serangkaian diskusi dan tinjauan ke lapangan. Lalu dilakukan literature review. Hasil kajian-kajian inilah yang kemudian menjadi dasar diselenggarakannya Expert Meeting, 17 Juni 2023, hasil kerjasama WIK dengan BKKBN. Konsensus para ahli di dalam Expert Meeting inilah yang menjadi standing point untuk menyusun model dan modul pelayanan kesehatan mental untuk ibu hamil dan bayi hingga berusia dua tahun.
Mungkin ini hanyalah kerja kecil. Tapi bukankah perjalanan panjang harus dimulai dengan satu langkah? Bukankah sebuah gambar besar dimulai dengan satu titik? Good job… sekeren namanya, Wanita Indonesia Keren.