Oleh: Kristin Samah

JAKARTA (1/8/2021)—Ya… saya bangga menjadi penulis. Meskipun saat ini, status kepenulisan saya, dalam strata yang saya buat sendiri, masih di kelas terendah. Belum level author atau pengarang.

See… itulah kekuasaan penulis, bisa membuat taksonomi sendiri. Bahkan, bisa menentukan hidup-matinya seseorang.  Begitulah penulis yang pengarang, bisa menciptakan tokoh sesuai imajinasinya.

Tulisan ini tak bermaksud membahas kebanggaan dalam terminologi yang perlu telaah akademis kritis. Sungguh, hidungku kembang kempis selama tiga bulan terakhir.

Tersebutlah sebuah organisasi penulis bernama Satupena. Pasti kurang gaul kalau tidak mengenal organisasi yang baru berusia empat tahun, lahir dalam sebuah “Kongres” di tahun 2017. Sabtu (31/7), muncul pemberitaan di beberapa portal berita, termasuk ceknricek.com, Ketua Umum Satupena Nasir Tamara menyatakan menolak undangan Rapat Luar Biasa.

Ini adalah kelanjutan dari berita di bulan Mei yang menyebut Satupena akan menggelar Kongres. Rupanya, Panitia kesulitan mempersiapkan gelaran Kongres. Ketua Umum sering mengambil keputusan sendiri. Bahkan, menentukan sendiri susunan Steering Committe dengan memasukkan mantan pejabat dan pesohor. Sebut misalnya, mantan KSAU Chappy Hakim yang mendadak dijadikan SC.

Saya sendiri bukan pendiri Satupena. Keikutsertaan di kongres Solo diajak Bang Nasir. Bayar tiket sendiri, bayar hotel sendiri, malam terakhir baru panitia menyedikan kamar. Ternyata Kongres Penulis difasilitasi Badan Ekonomi Kreatif.

Bang Nasir yang terpilih jadi Ketua Umum lalu mengajak saya menjadi salah satu pengurus. Banyak ide, banyak rencana, hingga akhirnya memilih pasif oleh karena beberapa hal.

Dari sejak tidak aktif awal 2019 hingga Mei 2021 ternyata bayi Satupena sangat dinamis. WAG Satupena selalu full jumlah anggota. Banyak pesohor dan mantan pejabat di dalamnya. Sementara WAG Pengurus, tidak pernah ada percakapan sejak dicreate 2017.

Rencana penyelenggaraan Kongres II Satupena membuka kotak pandora. Banyak kejanggalan baik dalam tata kelola maupun peraturan organisasi. Anggaran Dasar yang disahkan Notaris, beda jauh dengan AD yang disahkan Kongres; Bendahara tak pernah pegang keuangan; Keanggotaan tidak melalui prosedur yang disepakati; Pengurus tidak pernah rapat; dan masih ada lagi yang lainnya.

Saya ada di Kepanitiaan Kongres. Mendata keanggotaan. Kira-kira para pesohor dan mantan pejabat kesal gak ya diminta mengisi formulir? Ngisinya bisa suruhan ajudan atau sekretaris, tapi “masa sih? Disuruh isi formulir?” Tapi ternyata mau juga hingga jumlah anggota terverifikasi 277 orang.

Bayi Satupena sangat montok dan seksi. Kelompok yang meminta Kongres tetapi mendapat hambatan Ketua Umum, merancang Rapat Anggota Luar Biasa, didukung 104 orang. Tidak kalah keras, Ketua Umum merencanakan sendiri Kongres Satupena.

Di sinilah kebanggaan saya sebagai penulis semakin berkembang. Pasti ada yang tak saya lihat tetapi dilihat orang lain, dalam organisasi Satupena hingga suksesi berlangsung begitu keras. Kalau tidak, bagaimana mungkin orang-orang sekelas Denny JA, Wina Armada, Chappy Hakim, Ilham Bintang, Azyumardi Azra, dan masih ada sederet nama lainnya yang memiliki kaliber, ikut turun gunung mengurus organisasi yang anggotanya kurang dari 300 orang.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat sempat mengajak saya untuk memediasi perbedaan pandangan. Lalu saya mengusulkan menyertakan Lukas Luwarso dan Putu Setia. Namun upaya itu tidak berlanjut. Masing-masing keras dengan pendiriannya.

Setelah gagal dalam upaya mediasi, Komaruddin Hidayat memilih tidak melibatkan diri dengan Satupena. Lukas Luwarso dan Putu Setia tidak memihak dua kubu. Saya sendiri ada di pinggiran barisan pendukung Rapat Anggota Luar Biasa yang akan berlangsung 1 dan 8 Agustus 2021.

Saya bangga menjadi penulis karena mengemban amanat agung, mengukir peradaban. Maka dalam berkumpul dan berserikat pun, harus dijauhkan dari politisasi, sebaliknya, nilai-nilai etik dan moral harus tetap dijunjung tinggi. (***)