Oleh: Kristin Samah
Kamu pasti sembuh, harus kuat, dan harus tetap semangat, karena aku mau mengajakmu ke Baduy lagi.
April 2015 adalah tahun penggenapan obsesi mengunjungi Baduy. Selalu ada kerinduan, tetapi ada juga berbagai hal yang membuatnya batal. Hingga di bulan dan tahun itu, kamu membuat berbagai alasan mental.
“Gua gak punya jas hujan,” kataku panik ketika jam sudah mendekati tutup toko.
“Apalagi yang elu gak punya? Entar gua yang siapin,” ujarnya mantap.
Ia meyakinkan, aku cukup membawa pakaian ganti dan perbekalan secukupnya. Jas hujan, senter, jaket, bahkan topi pun, ia bawa rangkap. Satu buatku, satu lagi buat dirinya sendiri.
Di jam yang sudah ditentukan, kami bertemu di stasiun kereta Angke menuju Rangkas Bitung. Di tahun itu, teman seperjalanan adalah pedagang, termasuk yang membawa ternak dan hasil bumi. Toh kami tetap happy bersama sembilan orang lainnya yang baru dikenal.
Indi K Noorsy mengatur semua persiapan perjalanan, dan aku takluk dengan apa pun yang dikatakannya. Belanja bumbu dan bahan pangan, katanya, aku menurut. Naik elf, katanya, aku ikut. Ia juga mengajari cara menjaga stamina saat mulai berjalan kaki dari Ciboleger.
Indi juga yang meyakinkan bahwa kami akan baik-baik saja ketika baru satu jam berjalan kaki, hujan mengguyur tanpa ampun. Beruntung ia bawa topi, mantel, bahkan payung ekstra agar tubuh tak kuyub.
Meskipun tak terucap, ia tahu hatiku ciut saat menyeberang sungai yang tampak mulai meluap. Arus menderas, pun licin. Satu di antara rombongan, jatuh dan terkilir hingga harus ditandu. Sebagai pecinta alam, ia tahu bagaimana menjagaku layaknya membawa hantaran untuk mertua. Tak boleh tergores.
Dan layaknya sebuah hubungan, ada saatnya menikmati bulan-bulan madu, ada saatnya ego menguasai masing-masing hingga enggan bertegur sapa.
Kali ini, ketika virus corona menghampirimu, tekun aku mendaraskan doa. Indi… kamu harus sehat, harus pulih, supaya kita bisa ke Baduy lagi. Atau ke Kiluan, atau ke Ujung Kulon yang hanya sampai pada rencana.