Oleh: Raguan Aljufri

Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

JAKARTA (16/4/2020)—Bagaimana kita menyambut Ramadhan, bulan penuh berkah di saat pandemi Covid-19 melanda? Bagaimana menjalankan sholat tarawih di tengah anjuran untuk menjaga jarak, hindari keramaian, dan di rumah saja? Bagaimana menyambut malam Lailatul Qadar? Bagaimana merayakan Idul Fitri, hari kemenangan, hari kesucian, saat kembali ke fitrah?

Pertanyaan itu tidak hanya berkecamuk dalam pikiran umat muslim di Indonesia tetapi hampir di seluruh muka bumi.

Bulan suci Ramadhan yang diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri adalah sebuah kemewahan ibadah satu bulan penuh.

Syahrul Mubarak, bulan yang penuh dengan kemuliaan yang didalamnya Alquran diturunkan. Surah Al Baqarah 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)”.

Ramadhan adalah bulan suci ketika doa dan pahala kita dilipatgandakan, pintu kebaikan dibuka, dosa-dosa diampunkan, pintu neraka ditutup, setan pun dibelenggu. Sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, pintu rahmat dibuka. Pada sepuluh hari kedua berisikan maghfirah atau ampunan seluas-luasnya.

Dan di sepuluh hari terakhir itulah Rasullulah mengisyaratkan malam Lailatul Qadar, yaitu satu malam yang hanya terjadi di bulan Ramadhan. Keutamaan Lailatul Qadar, lebih baik dari seribu bulan. Malam yang mulia. Pada malam itu, semua doa-doa kita akan dikabulkan. Kita akan mendapat keberkahan, amal perbuatan dilipatgandakan nilainya. Maka setiap umat muslim berharap mendapat kemuliaan di malam Lailatur Qadar.

Ramadhan bagi bangsa Indonesia bukan sekadar ibadah, tetapi juga momentum untuk menjalin silaturrahim. Sistem kekerabatan yang begitu kental di hampir seluruh wilayah Indonesia semakin membuat bulan Ramadhan menjadi istimewa. Saat itulah setiap keluarga mempersiapkan buka puasa bersama untuk mempererat tali persaudaraan. Saat itulah setiap keluarga mempersiapkan paket-paket untuk dibagi-bagi pada mereka yang berhak. Saat itulah setiap keluarga mempersiapkan diri untuk kembali ke tanah kelahiran, berkumpul bersama keluarga, mengukuhkan kembali akar kemanusiaannya. Dari mana dia berasal.

Ketika anjuran untuk kembali ke kampung halaman ditunda saja, saat itulah kegamangan muncul. Bayangan merayakan Idul Fitri tanpa sujud syukur di kampung halaman bersama keluarga besar menjadi bayang-bayang kesedihan. Impian meraih berkah sebanyak-banyaknya di bulan Ramadhan menyisakan pertanyaan pilu karena pemerintah tidak menganjurkan untuk beramai-ramai sholat di Masjid.

Meramaikan dan memakmurkan masjid pada waktu sholat, selain berfungsi sebagai syi’ar dan wadah silaturrahim, sholat berjamaah juga lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat, seperti  dalam H.R. Bukhari  ‎صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً.”

Apalagi selama taraweh sebulan penuh, yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, malaikat hadir, ikut dalam sholat tarawih, mendoakan jamaah. Umat yang menjalankan taraweh, kalau dia meninggal, seperti keluar dari rahim ibunya. Wajahnya bersinar bagaikan rembulan. Dan malaikat yang turut sholat taraweh bersama-sama akan menjadi saksi di hari kiamat. Keberuntungan masuk surga.

Kualitas taraweh dikategorikan mendapatkan pahala seperti layaknya pahala ibadah yang dilakukan para Nabi. Kelak ia akan selamat dari segala bentuk kesusahan dan kebingungan.

Keutaman-keutamaan berkah di bulan Ramadhan itulah yang saat ini menjadi kegamangan umat muslim karena anjuran membatasi diri untuk tidak berada di keramaian atau mengumpulkan banyak orang.

Keramaiannya yang dibatasi, substansi ibadahnya tetap harus dijalankan. Kita bisa “memindahkan” masjid ke dalam rumah dan tetap menjalankan ibadah taraweh bersama keluarga secara berjamaah.

Allah mengizinkan umat-Nya untuk tidak menjalankan sholat berjamaah di mesjid. Sebagai contoh, walaupun sholat Jumat wajib hukumnya tetapi bila kehadiran umat di masjid bisa mengancam keselamatan sesama, sholat Jumat bisa digantikan dengan sholat dhuhur dan dilakukan di rumah.

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً

Sesungguhnya Allah swt mencatat kebaikan Dan keburukan

Maka barang siapa bermaksud berbuat Suatu kebaikan tapi kemudian dia tidak bisa mengerjakannya  ( karna Satu hal) Maka Allah swt mencatat di sisinya sebagai kebaikan yang sempurna (H.R. Bukhari -Muslim)

Pandemi Covid-19 harus menjadi momentum bagi muslim Indonesia membawa kesucian masjid ke dalam rumah. Pahala sholat di masjid tetap dapat diperoleh dengan menjalankan sholat jamaah di rumah bersama keluarga karena lipatganda pahala melekat pada sholat berjamaah apalagi pada bulan Ramadhan.

Ramadan dan Idul Fitri 2020 harus dipandang sebagai berkah untuk seluruh umat manusia, karena kita menjalankan ibadah dalam suasana solidaritas kemanusiaan yang sangat kuat.

Takbir, tasbih, tahmid dan tahlil akan tetap berkumandang menyambut fajar 1 Syawal dalam suasana silaturrahim. Kemeriahan Idul Fitri sebagai hari kemenangan yang menunjukkan kita kembali fitri, kembali pada kesucian jiwa serta suci dari dosa akan tetap dirayakan dengan sebuah kesadaran kemanusiaan yang hakiki. Sebuah kesadaran untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.

Silaturahmi dan halalbihalal tetap dilakukan, sekalipun melalui sosial media atau video call/ conference. Caranya yang berubah, namun esensi ibadah itu sendiri justru dilipatgandakan.

Marhaban ya Ramadhan Syahrul Mubarak… (*)