Oleh: Kristin Samah

JAKARTA (3/8/2021)—Pertanyaan itu ditujukan seorang elite partai yang diingatkan tentang kemungkinan partainya diseret-seret ke dalam pusaran perbedaan pendapat antara Ketua Umum Satupena Nasir Tamara dengan sebagian besar anggota perkumpulan para penulis itu.

Awal Mei 2021 ketika bergulir tuntutan Kongres II Satupena, saya diminta mengkompilasi keanggotaan organisasi. Sempat bingung juga. Apa yang menjadi kriteria dasar keanggotaan Satupena? Anggaran Dasar menyebut persyaratan telah menulis satu buku ber-ISBN, rutin menerbitkan jurnal ilmiah, atau rutin menulis di media. Berarti semua penulis yang memenuhi kriteria adalah anggota Satupena?

Prinsip Perkumpulan adalah organisasi tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki kesamaan visi. Sampai di sini, pertanyaan apakah semua penulis adalah anggota Satupena, dijawab tegas, Yesss! Tapi jawaban berbeda dalam konteks organisasi. Apalagi bila organisasi sedang mempersiapkan rapat akbar, pemegang kekuasaan tertinggi di Perkumpulan.


Pada latar itulah status keanggotaan harus diverifikasi, dikembalikan ke prinsip stelsel aktif, dibuktikan dengan mengisi formulir keanggotaan. Gampang saja alasannya, kalau kongres atau apa pun namanya harus mengambil keputusan, siapa yang berhak punya hak suara?

Verifikasi didasarkan pada beberapa kriteria yaitu kepesertaan pada Kongres di Solo; kepesertaan pada rapat kerja nasional; kepesertaan pada penyusunan buku yang diinisiasi Satupena; sudah mendapat kartu anggota atas diskresi Ketua Umum; dan sudah mengisi form keanggotaan.

Rupanya, verifikasi keanggotaan menjadi isu sensitif. Apa pasal? Di WAG Satupena terdapat nama pejabat, mantan pejabat, pesohor, atau tokoh-tokoh kaliber nasional, punya reputasi dan kredibitas.

Sebutlah yang terdapat di WAG Satupena, Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, Mantan KSAU Chappy Hakim, Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Denny JA, Achmad Fachrodji, Asvi Warman Adam, Connie Rahakundini, Fachry Ali, Didin S. Damanhuri, Erros Djarot, Garin Nugroho, Gemala Hatta, Ilham Bintang, Imam B. Prasodjo, Jaya Suprana, Manuel Kasiepo, Ninok Leksono, Bachtiar Aly, Mpu Jaya Prema Putu Setia, Sutardji Calzoum Bachri, Lukas Luwarso, Tommy Awuy, Todung Mulya Lubis, Ulil Abshar Abdalla, Wina Armada, Candra Darusman, dan sebagainya.

Tidak semua nama menyatakan diri sebagai anggota. Banyak di antara mereka senang saja berdiskusi di WAG Satupena. Namun dalam pusaran perbedaan pendapat antara Ketua Umum dengan anggota, nama-nama mereka pun terseret-seret. Bahkan dalam portal berita di Riau, nama-nama pejabat, mantan pejabat, dan pesohor itu disebut mendukung kepemimpinan Nasir Tamara. Judulnya pun bikin keder. “Satupena Diguncang Isu Kudeta”.

Wow… belakangan nama-nama yang diklaim mendukung Nasir Tamara itu memberikan klarifikasi. Agus Widjojo memilih menikmati carrot cake daripada membicarakan prokontra Satupena karena dia menyatakan diri bukan anggota. Prof. Komaruddin Hidayat memilih berada di luar lingkaran. Klarifikasi bahwa namanya dicatut juga disampaikan Fachri Ali, Asvi Warman Adam, Achmad Fachrodji, Aprinus Salam, Akmal Nasery Basral, Jean Couteau, Ninok Laksono, Mpu Jaya Prema, dan sejumlah nama lainnya.

Mbak… Satupena itu apa?

Baru saja saya typing untuk menjelaskan apa itu Satupena, keburu pertanyaan berikutnya muncul.

Jumlah anggotanya berapa?

Saya menghapus kata-kata yang sudah terlanjur diketik, digantikan dengan dua huruf berulang lima kali, dengan emoticon air mata berurai. Hahahahaha…

Dari jumlah anggota yang diklaim 600 orang terdapat 277 nama yang memenuhi syarat sebagai anggota. Kurang dari 300 orang, kehebohannya seperti organisasi beranggota 300 juta. Mungkin ada aset yang diperebutkan? Hmmm… saldo kas kurang dari Rp 200 juta.

Kekayaan Satupena memang bukan material tetapi menempel di tiap-tiap anggota. Sayangnya, tidak seperti uang. potensi itu tidak bisa dikumpulkan, diklaim menjadi milik satu orang. Sebab ada atau tidak ada organisasi, kredibilitas penulis ada pada karyanya.

Salam waras!