Tolong sampaikan padanya…
Di dalam darahnya ada darahku,
Di dalam semangatnya ada semangatku,
Di dalam langkahnya ada diriku.
Jika dia menyerah, dia bukanlah aku”
(Restu Bung Karno untuk Megawati Soekarnoputri)
Sepenggal puisi pembelajaran pemimpin negeri. Buah olah pikir dan batin sosok muda Metik Marsiya tersebut mewakili gambaran nyata sosok Megawati Soekarnoputri. Pengalaman hidupnya di lima dunia yang berbeda, yaitu sebagai anak seorang presiden, kemudian kembali menjadi rakyat biasa, meniti dunia politik sebagai anggota legislatif, naik menjadi ketua umum partai, dan memasuki dunia eksekutif sebagai wakil presiden, berlanjut menjadi presiden.
Perjalanan yang menjadikan sosok Megawati Soekarnoputri sebagai pribadi yang sangat unik.
Dalam jejak panjang rekam perjuangannya, legacy apa yang diberikan Megawati Soekarnoputri bagi bangsa dan negara?
Moral Politik
Pergulatan politik yang dialami Megawati mengajarkan satu hal. Sehebat-hebatnya persoalan yang dihadapi, modal yang paling berharga adalah persatuan dengan rakyat. Megawati meyakini itu sebagai pedoman yang diberikan Bung Karno. Ia memiliki kesadaran sejarah.
Apa yang disampaikan Raden Wijaya pada tahun 1293, Satyam Eva Jayate, juga mengilhami Megawati dalam menapaki jalan politik. Kebenaranlah yang pada akhirnya akan menang. Kesabaran revolusionernya teruji. Bahkan menjadi keyakinan Megawati.
Tapak langkah Megawati masuk dunia politik diimbangi dengan kontemplasi. Bagaikan berjalan meniti buih, ia bergerak penuh kehati-hatian, tidak terjerumus dalam tantangan, rintangan, bahkan jebakan itu sendiri. Hampir sepanjang perjalanan karir politiknya, Megawati berjuang untuk tidak tenggelam.
Ia tidak pernah tergiur pada jalan revolusi sekalipun gerakan arus bawah seolah-olah menuju ke arah sana. Ketika kedudukannya sebagai ketua umum PDI dipatahkan dengan terselenggaranya Kongres Medan, ia muncul sebagai ikon perubahan. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, menjadi pusat pergerakan.
Setiap hari, di halaman kantor DPP PDI diselenggarakan “Mimbar Demokrasi”. Berbagai kalangan termasuk tokoh pro-demokrasi dan tokoh muda seperti Sri Bintang Pamungkas dan Budiman Sudjatmiko aktif menyuarakan ketidakpuasan pada pemerintah. “Mimbar Demokrasi” dianggap sebagai persemaian jalan revolusi. Bahkan pemerintah mengindikasikan sebagai kegiatan makar, melawan pemerintahan yang sah.
Ketika kantor DPP PDI sebagai simbol kedaulatan partai dihancurkan dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), Megawati tidak terpancing untuk melakukan perlawanan secara frontal. Ia tidak memimpin anggota, simpatisan, bahkan masyarakat luas yang mendukung PDI, untuk melakukan perlawanan dengan gerakan massa. Ia tidak tergiur dengan iming-iming simbol sebagai tokoh demokrasi sekalipun banyak pihak mendorong kearah sana.
Inilah bukti kesabaran revolusioner seorang Megawati. Ia memahami jebakan subversif ketika sebuah kerusuhan diciptakan. Selangkah saja Megawati keliru memilih jalan, begitu mudahnya pemerintah yang berkuasa menempatkannya sebagai seorang pelanggar hukum, pemimpin gerakan makar. Hal itu juga berarti memberi legitimasi pada pemerintah untuk membubarkan PDI, membungkam gerakan rakyat. Tidak semua orang bisa melihat skenario politik-hukum, seperti yang dilihat Megawati.
Ia lebih memilih jalan sepi, diam, taat pada peraturan dan hukum. Jalan yang tidak pernah dipertimbangkan orang lain ketika mengetahui karut marut penegakan hukum di Indonesia saat itu. Jalan yang mungkin tak pernah dipikirkan ketika di depan mata gerakan massa untuk melawan pemerintahan tiran seolah-olah terbuka lebar. Jalan yang sama sekali tidak menarik perhatian itu terbukti mampu membungkam strategi lawan.
“Masa sih di antara sekian banyak aparat penegak hukum tidak ada satu pun yang memiliki hati nurani. Satu gugatan saja kita menangkan, maka disitulah arus balik terjadi, sebagai kemenangan gerakan arus bawah, kemenangan kekuatan moral,” kata Megawati di hadapan DPP PDI saat itu.
Tanpa mengecilkan emosi massa, ia berkhidmat di jalan hukum sekalipun banyak orang mencerca langkahnya sebagai tidak populer, tidak berani melawan arus. Bukan hanya di tingkat nasional, di hampir seluruh kabupaten/ kota—saat itu terdapat 330 kabupaten/kota di seluruh Indonesia—kader-kader PDI melakukan gugatan atas terselenggaranya Kongres Medan. Bayangkan, ratusan gugatan dilayangkan di tengah apatisme penegakan hukum. Hampir seluruh aparatur hukum tunduk pada penguasa otoriter, Orde Baru.
Waktu juga yang memberikan bukti kebenaran Megawati. Ia tidak menapaki panggung yang dipersiapkan tetapi menciptakan panggung politik baru, yaitu memimpin arus bawah melalui kekuatan moral. Kecerdasan langkah politik Megawati, melahirkan kekuatan moral. Inilah legacy yang pertama.
Kepemimpinan Rekonsiliatif
Bagi Bung Karno, ide dan gagasan tidak bisa dibunuh. Demikian halnya hidup dan kehidupan pemimpin bangsa. Desoekarnoisasi yang dilakukan selama lebih dari tiga dasawarsa, dalam perspektif kemanusiaan, telah menempatkan Bung Karno dan keluarganya pada sisi gelap sejarah. Apakah Bung Karno hilang dan mati?
Sejarah membuktikan, Bung Karno “tidak mati” sekalipun rekayasa politik dilakukan untuk menyingkarkannya. Ingatan kolektif tentang sosok pendiri bangsa itu tidak pernah hilang meskipun rekam jejak sejarah perjuangan memerdekakan Republik, sengaja dikaburkan.
Bung Karno meraih kebahagiaan ketika bisa mengabdi pada Tuhan, bangsa, dan negara, yang begitu dipuja dan dicintainya. Jiwa pengabdiannya itu menjadi sumber eksistensi sosok Bung Karno yang berdedikasi hingga akhir hayat. Dan rakyat menjadikan totalitas yang diberikan Bung Karno itu, sebagai sumber energi perjuangan ke dalam hati sanubarinya.
Tidak pernah habis tulisan yang mengungkap kekejaman perlakuan yang dialami Bapak Bangsa itu untuk menjamin terwujudnya keutuhan Indonesia dalam sebuah kemerdekaan sejati.
Bagaimana Bung Karno bersikap ketika menjalani semua kisah kelam kehidupannya itu tidak membuat Megawati runtuh dalam kekelaman. Sebaliknya pengalaman bersama ayahnya memberi pemahaman tentang masa depan bangsa. Pengalaman pahit di masa lalu justru memperkuat rasa kemanusiaannya. Terbentuk sebuah kesadaran bahwa presiden Indonesisia tidak boleh mengalami nasib yang sama, dipuja ketika berkuasa, dihujat ketika tak lagi menjabat. Sikap inilah yang menjadikan Megawati Soekarnoputri tampil mengatasi situasi dengan menyampaikan kata-kata sederhana, namun sarat pesan kemanusiaan, “Stop hujat Pak Harto!”
Inilah sikap rekonsiliatif, agar apa yang dialami Bung Karno dan keluarganya, tidak menjadi tradisi buruk bangsa. Ia membangkitkan keadaban publik bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang welas asih, penuh dengan bela rasa. Sikap rekonsiliatif ini merupakan buah kejernihan kesadaran, bahwa bangsa yang kuat tidak dibangun dalam tradisi konflik.
Indonesia dibangun dengan gagasan besar membangun persaudaraan dunia dalam tatanan dunia baru yang anti kolonialisme dan anti imperialisme. Indonesia adalah bangsa pejuang dan pelopor yang hidup dengan keadaban timur di mana nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, dan musyawarah, serta berjuang untuk keadilan sosial sebagai nilai yang terus hidup dan menginspirasi.
Untuk apa Indonesia menjadi jembatan penyelesaian konflik di Kamboja, mengirim pasukan perdamaian ke berbagai daerah konflik di seluruh penjuru dunia, bila tidak bisa berdamai dengan sesama anak bangsanya sendiri. Bukankah Indonesia bercita-cita mulia, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia? Bukankah itu pencapaian peradaban yang luar biasa sebagai bangsa yang baru merdeka?
Kepemimpinan rekonsiliatif inilah yang dilakukan Megawati. Ia menyadari bahwa dendam politik hanya menjadi api pemecah bangsa. Maka tidak heran, ketika dipercaya rakyat melalui Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR), sebagai Presiden Kelima Republik Indonesia, semangat gotong royong menjadi buah kesadarannya dalam menyusun kabinet.
Puluhan tahun belakangan, baru diakui, kabinet yang dibentuk Megawati benar-benar sebagai the dream team. Kabinet dengan komposisi terbaik, buah perpaduan antara kemampuan profesional, representasi partai, dan tradisi kepemimpinan yang berorientasi menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Publik pun mencatat, bagaimana Megawati Soekarnoputri menyusun kabinet dengan pertimbangan matang, penuh semangat rekonsiliatif, tanpa eforia fit and proper test dan pakta integritas, namun menempatkan aspek kemimpinan, pengalaman, dan kemampuan profesional, sebagai pertimbangan utama. Pertimbangan semata-mata didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara, di mana ada batas demarkasi yang jelas antara mengelola partai dan mengelola negara. Penyusunan kabinet juga mencerminkan objektivitas kepemimpinannya pada tugas pemerintah untuk menangani krisis multidimensional saat itu. Dengan seleksi menteri tersebut lahirlah sosok seperti Prof. Dr. Budiono, Prof. Dr. Purnomo Yosgiantoro, Prof Dr. Yusril Ihza Mahendra, Dr. Bambang Kesowo, Prof Bungaran Saragih, Kwik Kian Gie, Prof Malik Fadjar, Dr. Moh Prakosa, dan lain-lain.
Pemilihan Dr. Bambang Kesowo, yang telah menjadi pejabat di era Orde Baru, menjadi contoh kemampuan profesional yang didasarkan pada pertimbangan objektif, kepentingan bangsa, negara, dan semangat rekonsiliatif.
“Pak Bambang Kesowo saya pilih bukan hanya karena kemampuan profesionalnya saja. Beliau memahami tugas Mensesneg sebagai tamengnya presiden, dan tapisnya presiden, namun juga melalui dialog yang panjang yang saya lakukan dengan Mas Moerdiono, sebagai sosok yang saya pahami mengerti hal-ikhwal sekretariat negara,” ujar Megawati dalam satu kesempatan.
Demikian halnya pengangkatan Prof. Dr. Said Agil Al Munawar. Megawati mencari tokoh Nahdlatul Ulama yang sudah lama tinggal di Arab Saudi, hafidz al Quran, sehingga proses penyelengaraan Ibadah Haji dapat berjalan dengan baik, tertib, dan mencerminkan gambaran Islam dan keislaman di Indonesia yang menyatu dengan tradisi kebudayaan Indonesia. Demikian halnya penugasan Prof. Malik Fajar sebagai menteri pendidikan, tidak terlepas dari kesadarannya bahwa Muhammadiyah memelopori wajah “Islam is a progress” melalui pendidikan.
Inilah legacy Megawati Soekarnoputri yang kedua. Menempatkan kepentingan bangsa dan negara, jauh di atas kepentingan partai dengan menghadirkan susunan dan komposisi kabinet yang tidak hanya mencerminkan semangat gotong royong dalam bekerja, namun kemampuan profesionalnya untuk menyelesaikan krisis.
Kepemimpinan Masa Krisis
“Saya tidak mau lagi ada yang mengatakan negara kita tidak punya uang. Kita memang sedang mengalami krisis, maka tugas kita menjalankan mandat Majelis Permusyaaratan Rakyat dengan sebaik-baiknya, ada atau tidak ada uang. Setiap menteri saya harus berani mengambil keputusan, dan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya bertanggung jawab penuh atas keputusan yang saya ambil,” ujar Megawati dalam salah satu rapat kabinet. Pesan yang sederhana dan tegas, penuh sense of direction, dan melekat dengan sense of responsibility sebagai pemimpin.
Megawati Soekarnoputri tercatat sebagai presiden yang berani memikul tanggung jawab kepemimpinan. Kesan inilah yang mengalir kuat dari pengakuan para menteri Kabinet Gotong Royong. Tidak sedikit yang pada awalnya sempat meragukan kepemimpinan Megawati. Namun modal berhemat yang dimiliki sebagai seorang ibu rumah tangga dikombinasi dengan gemblengan kepemimpinan politik yang langsung dilakukan Bung Karno, ternyata sangat tepat diterapkan pada saat krisis.
Megawati melarang para menterinya membangun gedung yang tidak perlu, atau sekadar ganti mobil dinas. “Kita bekerja dalam suasana krisis, rakyat menaruh harapan pada kita. Meskipun keputusan pahit, sejauh baik untuk masa depan bangsa dan negara, saya ambil pilihan itu,” suatu pesan sederhana yang dibuktikan oleh Megawati yang menaruh kepercayaan penuh pada menterinya. Tidak pernah keluar satu patah pun mencela atau menyalahkan menterinya di depan publik, sebab Ia tahu, bahwa mereka telah bekerja keras bagi bangsanya. Megawati justru hadir sebagai pelindung agar semua bekerja dengan tenang.
Karena itulah, sepanjang masa kepemimpinannya tidak ada satu reshuffle pun dilakukan, sebagai bagian dari tanggung jawab telah mengambil keputusan mengangkat para pembantunya.
Inilah legacy ketiga kepemimpinannya: membangun organisasi jauh lebih penting daripada popularitas diri. Suatu model kepemimpinan yang belakangan dikaji melalui penelitian mendalam oleh Jim Collins dalam buku Built to Last dan Good to Great. Teori kepemimpinan modern pun membuktikan model kepemimpinan tingkat lima Megawati, sebagai bauran paradoks antara keyakinan dan profesionalitas. Suatu kepemimpinan yang kokoh dalam nilai-nilai fundamental/core values; suatu kepemimpinan yang siap menghadapi resiko dan fakta sebrutal apa pun, tetapi tetap kokoh pada prinsip; kepemimpinan yang menyederhanakan, selalu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, dan suatu model kepemimpinan yang penuh dengan sense of direction. Inilah legacy yang diakui para menterinya, sehingga mereka yang memiliki mata hati yang sama, masih tergabung dalam pertemuan rutin: Arisan Paguyuban Nusantara, yang telah berlangsung lama.
PENUTUP
Sangat menarik jawaban Megawati ketika ada berbagai upaya untuk mendeskreditkan kepemimpinannya terhadap persoalan korupsi yang dituduhkan kepada jajaran menterinya.
“Sekiranya menteri saya korupsi sebagaimana dituduhkan, coba lihat kehidupan keluarganya, dan bandingkan kehidupannya itu. Semua tampil bersahaja bahkan untuk ukuran sosial seorang menteri. Satu hal yang membuat saya terus merasa terbebani adalah, bahwa seluruh menteri saya telah bekerja keras. Saya tidak memberikan sesuatu hal yang layak bagi kehidupan pribadinya, kecuali mereka telah berdedikasi bagi bangsa dan negara.” Sebuah pernyataan yang sederhana, dan sekali lagi penuh dengan aspek kemanusiaan seorang Ibu sejati. Itulah seluruh warna kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.
Kemampuannya bekerja sama dengan Wakil Presiden Hamzah Haz ditandai dengan sebuah kode sederhana di antara keduanya. Presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan kepemimpinan, dwi tunggal.
Megawati selalu berpesan, “Pak Hamzah, sebelum saya mengambil keputusan sebagai presiden, sekiranya Bapak ada yang kurang setuju, tolong saya dikasih kode, dengan memegang tangan saya”. Maka jadilah semangat kepemimpinan dwitunggal dibumikan dengan sentuhan tangan pemimpin yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Buku ini dengan demikian mengungkapkan, kepemimpinan tingkat lima dalam kategori Jim Collins. Semua ditulis oleh para menteri Kabinet Gotong Royong dalam sudut pandangnya masing-masing. Dari pandangan yang berbeda-beda itu tampaklah model dan watak kepemimpinan Megawati yang membangun organisasi, jauh lebih penting daripada popularitas diri. Sebab keyakinan pemimpin politik terletak pada keteguhan menjaga prinsip itu.
Di sinilah sekali lagi, Megawati Soekarnoputri membuktikan bahwa menjadi presiden itu mudah, yang sulit adalah menjadi pemimpin. Tanggung jawab pemimpin bagi bangsa dan negara itu hanya lahir apabila pemimpin percaya dan memahami Satyam Eva Jayate. Untuk bangsa dan negara, dedikasi Megawati Soekarnoputri diletakkan. Karena itulah ia tidak akan pernah berhenti berjuang membumikan Pancasila, jiwa dan kepribadian bangsa.
Memang politik penuh dengan watak kontestasi, bahwa bagi yang tidak kokoh, mereka akan mudah terjebak dalam ambisi kekuasaan hingga politik menghalalkan segala cara. Megawati telah membawa PDI Perjuangan dari partai sandal jepit menjadi partai pelopor yang selalu setia pada jalan ideologi Pancasila. PDI Perjuangan kini semakin kokoh menjadi rumah rakyat, rumah kebudayaan, rumah Kebangsaan Indonesia Raya.
Proses transformasi itu juga bukan hal yang mudah. Maka di tangannya, politik itu menjadi terasa hidup dan penuh dengan tradisi kemanusiaan. Politik itu menjadi sederhana terkait persoalan harga beras dan harga cabai. Politik itu berpihak. Politik itu berkebudayaan, dan politik itu penuh dengan rasa cinta kepada tanah air.
Maka keseharian Megawati Soekarnoputri adalah keseharian sebagai sosok yang begitu mencintai tanaman; sosok kolektor aneka resep makanan dan bumbu-bumbuan Indonesia dan manca negara. Baginya, menu maknana Indonesia yang begitu kaya dengan aneka bumbu-bumbuan benar-benar dibayangkan bercitarasa surga. Tidak berlebihan menjadikan Megawati sebagai sosok yang memberi hak untuk hidup dan kehidupan dengan memberi makan pada tupai di pohon yang begitu rindang di Teuku Umar. Megawati Soekarnoputri adalah pencinta kehidupan. Maka membuang biji salak pun menjadi larangan terbesar, sebab biji salak pun punya hak hidup. Ditangnnya, berpolitik itu persoalan hati.